Berita kehamilan Risna menjadi berita suka cita di keluarga mereka. Keluarga semua berkumpul dan merayakannya serta melakukan doa syukuran, terutama orang tua Hasan dan Risna. Mereka bahagia, terlihat dari ekspresi wajah mereka yang penuh senyum dan tawa, mengelus perut Risna serta mendoakan kandungannya dengan penuh harap. Selama kehamilan, Risna diperlakukan seperti ratu, semua kebutuhan Risna dipenuhi. Risna sendiri senang diperlakukan seperti itu dan tidak keberatan tetapi dia sedikit merasa tidak adil kalau semua itu hanya dikhususkan untuknya, yang seharusnya setiap anggota keluarga juga harus diperlakukan sama.
Sembilan bulan berlalu, hari ini adalah hari Risna pergi mengunjungi rumah sakit untuk memeriksa kandungan karena dalam waktu dekat dia akan melahirkan. Ditemani Hasan, mereka pergi ke rumah sakit menaiki mobil taksi yang sudah dipesan. Di perjalanan, Risna mengalami sakit luar biasa, kontraksi, tanda kalau bayi di perutnya sudah ingin keluar dan melihat dunia. Oleh Hasan, sopir mobil diperintah untuk mempercepat laju mereka, pergi ke rumah sakit secepatnya. Risna sendiri berteriak-teriak kesakitan di dalam mobil selama perjalanan.
Setibanya di rumah sakit, Risna segera dibawa ke ruang persalinan, ruang Melati, entah apa alasan rumah sakit selalu memberi nama ruangan dengan nama-nama bunga tetapi ya di sanalah keajaiban terjadi. Lahirnya putri pertama Hasan dan Risna setelah mereka menikah sepuluh tahun. Risna menangis terharu melihat bayi itu, anak mereka yang kemudian diberi nama Wika. Hasan sendiri selama persalinan selalu menemani Risna di sisinya. Melihat putrinya yang akhirnya lahir, Hasan gembira bukan main. Berteriak ke semua orang di ruangan bersalin.
"Saya jadi bapak, saya jadi bapak, akhirnya kamu lahir Wika. Anakku sayang. Risna, akhirnya anak kita lahir, aku jadi bapak sekarang."
Risna hanya tersenyum melihat tingkah laku suaminya yang heboh di ruangan itu. Para dokter dan perawat yang membantu persalinan Risna juga ikut tersenyum melihat Hasan seperti itu. Suasana ruangan itu yang menjadi bahagia serta gembira, membuat senyum di wajah orang-orang di sana. Risna dirawat di rumah sakit selama beberapa hari karena kondisi Risna yang lemah setelah menjalani persalinan, Hasan ikut menemani istri tercinta. Wika putri mereka ada di sisi mereka, digendong oleh Risna dan terkadang Hasan. Risna pun diperbolehkan pulang setelah istirahat di rumah sakit selama beberapa hari dan kehidupan keluarga mereka dimulai.
Saat ini umur Wika tiga tahun, Risna sekarang menjadi ibu rumah tangga yang merawat Wika di rumah, menemani Wika. Usaha rumah makan yang sebelumnya Risna kelola, kini diserahkan ke kakaknya Risna, Andi. Risna hanya membantu sedikit saja. Hasan sendiri kembali bekerja seperti biasanya, menjadi karyawan kantoran. Kehidupan keluarga mereka pun berjalan seperti keluarga-keluarga yang lain, namun belakangan sesuatu yang aneh terjadi pada Wika. Wika sering menabrak benda-benda ketika berjalan, sering terjatuh. Awalnya itu hanya sesekali, tapi dari waktu ke waktu hal itu sering terjadi. Risna mulai cemas, ada sesuatu yang salah dengan anaknya. Risna bercerita ke Hasan, mereka memutuskan akan membawa Wika menemui dokter anak, mencari tahu penyebab hal itu.
Mereka pun bertemu sang dokter, berkonsultasi tentang kondisi anaknya yang ketika jalan sering terjatuh dan menabrak benda seperti sulit menyeimbangkan tubuh. Dari pemeriksaan dokter, ternyata Wika mengalami kebutaan mata. Risna kembali dirundung sedih, menyalahkan dirinya karena tidak becus merawat anak hingga menyebabkan anaknya buta. Hasan kali ini lebih tegar, setelah banyak cobaan yang alami, kali ini dia bisa lebih mengatasinya, menerima berita tersebut. Hasan bertanya ke dokter apa penyebab anaknya Wika buta. Dokter berkata itu bisa terjadi karena kecelakaan atau terjadi sesuatu atau memang sejak lahir. Hasan juga bertanya ke dokter apakah ada solusi atas masalah anaknya ini. Dokter berkata bisa, ada beberapa cara salah satunya yaitu transplantasi mata. Mencari donor mata yang cocok untuk anak mereka.
Di sinilah aku hadir, sebelum itu kenalkan dahulu, namaku Alfian. Mahasiswa di salah satu sekolah swasta di Jakarta. Aku bertemu dengan bapak Hasan dan ibu Risna ketika aku memutuskan akan mendonorkan organ-organ tubuhku termasuk mata di rumah sakit yang kebetulan juga rumah sakit langganan bapak Hasan dan ibu Risna. Alasan aku melakukannya karena kondisiku yang menurut dokter sudah tidak bisa disembuhkan, aku hanya punya waktu paling lama dua tahun sebelum akhirnya aku meninggal digerogoti oleh kanker yang aku derita. Dokter sudah menyarankan agar aku ikut radiasi dan sebagainya untuk memperpanjang umurku tapi aku menolak karena persentase sembuhnya hanya lima persen. Juga karena dari curhatan mereka yang sudah mengikuti radiasi dan sebagainya kalau hal tersebut menyakitkan, menambah keteguhanku untuk lebih memilih menikmati waktu yang aku punya dan tidak mengikuti saran dokter.
Baca juga: Cerpen: Satu Hari Lagi
Aku bisa tahu tentang donor organ dari sebuah cerita seseorang. Di situlah aku memutuskan kalau aku akan mengajukan diri melakukan hal yang sama yaitu donor organ. Berharap setelah sekian waktu aku hidup dan menjalani kehidupan aku masih bisa membantu orang hingga di masa depan setelah aku meninggal nanti. Keluargaku tidak ada yang keberatan dengan keputusanku ini, mereka semua mendukung dan inilah ceritaku.
Waktu itu aku sedang menunggu hasil tes yang telah aku lakukan sebelumnya sebagai syarat untuk mengikuti donor organ. Aku mendaftarkan diri untuk mendonorkan semua organku yang masih berfungsi dan sehat, maka dari itu harus dilakukan tes ini itu untuk memeriksa kondisi tubuhku. Ketika di ruang tunggu, aku melihat seorang bapak-bapak yang berjalan cepat ke arah pusat informasi rumah sakit. Aku mencuri dengar apa yang ditanyakan bapak itu, yang akhirnya aku ketahui adalah namanya bapak Hasan dan dia sedang mencari informasi serta akan mendaftarkan anaknya sebagai penerima donor mata.
Aku tertarik dengan bapak itu, aku pun menghampirinya, mengajaknya duduk untuk bercerita. Aku bertanya dan mencari tahu cerita dan alasan dibalik tindakannya yang sekarang. Seperti yang telah aku ceritakan di awal tentang bapak Hasan, itu juga yang dia ceritakan kepadaku. Aku memutuskan akan membantu bapak Hasan, mendonorkan mataku untuk anaknya, Wika. Aku akhirnya bercerita kepada bapak Hasan tentang kondisiku saat ini, dia turut prihatin mendengarnya dan aku pun menyampaikan niatku kepadanya. Dia kaget mendengar tentang keputusanku yang akan mendonorkan organku ketika aku meninggal nanti, memujiku kalau aku merupakan contoh anak muda yang mampu menginspirasi banyak orang melalui tindakanku yang padahal sedang mengalami kesulitan besar. Aku tersenyum, berkata padanya kalau itu hanya hal kecil saja yang bisa kulakukan, masih banyak orang di luar sana yang melakukan hal luar biasa lainnya.
Ketika kami saling bertukar cerita, tiba-tiba aku dipanggil oleh petugas pusat informasi, sepertinya hasil tesnya sudah ada. Aku minta izin sebentar ke bapak Hasan untuk mengambil surat hasil tes tersebut, aku memintanya untuk menungguku di sana karena aku mau mendengarkan ceritanya lagi. Dia pun mempersilahkanku. Aku menerima hasil tesnya, hasil tes menunjukkan kalau seluruh organ yang mungkin didonorkan dalam kondisi sehat dan baik, termasuk mata. Aku kembali ke bapak Hasan yang sedang duduk menungguku. Ketika aku duduk kembali di sebelahnya, aku pun berkata.
"Pak, aku sudah membulatkan keputusanku, aku akan mendonorkan mataku untuk Wika anak bapak."
"Tunggu sebentar nak Fian, nak Fian serius dengan ucapannya?" tanya balik pak Hasan tidak percaya.
"Iya pak, saya yakin. Hasilnya juga sudah keluar. Kondisi saya sehat untuk melakukan donor, sekarang tinggal persetujuan bapak saja dan syaratnya karena saya tidak bisa melakukannya sekarang tetapi setelah saya meninggal nanti," balasku, menunjukkan hasil tesku kepada bapak Hasan.
"Tapi seriusan? Nak Fian yakin? Saya sebenarnya sangat menerima karena memang itu yang saya mau untuk anak saya Wika, tapi saya masih belum percaya saja dengan keputusan nak Fian," balas bapak Hasan.
"Saya yakin, pak," balasku.
"Baiklah kalau memang nak Fian sudah memutuskan. Terima kasih, nak Fian. Bapak akan menerimanya," kata bapak Hasan, merangkulku.
"Baik, pak. Sama-sama, saya daftarkan dulu diri saya sebagai pendonor mata untuk Wika," jawabku dan aku beranjak ke bagian informasi lagi.
Tulisanku berikut ini adalah tulisan terakhirku. Aku menulisnya satu setengah tahun semenjak pertemuanku dengan pak Hasan. Kondisiku sekarang mulai memburuk ketika aku menulis ini yang dibantu oleh kakakku, terbaring di rumah sakit dengan berbagai alat pendukung untuk membantuku bertahan. Aku akhirnya meminta keluarga untuk menghentikan semua alat itu, mereka sebenarnya belum merelakan aku untuk pergi tapi aku meyakinkan mereka, akhirnya mereka setuju.
Untuk Wika, saat ini harusnya kamu sudah berumur lima tahun dan sudah bisa melihat, bermain dan beraktivitas selayaknya anak-anak di usiamu. Terima kasih Wika sudah mau menerima hadiah dariku, kamu akan menjadi mata harapanku untuk melihat masa depan nanti. Sampai ketemu.
Baca juga: Cerpen: Setelah Hidup
Posting Komentar