57GSGOUiym0RjqT60gh80ahb2hanHpOxHlTDFWHw
Bookmark

Cerpen: Pesan dari Kami yang Berada di Depan

"Terima kasih, Man. Atas jasamu menolong dan membantu di sini. Semoga kamu lebih bahagia di tempat selanjutnya. Semoga keluargamu baik-baik saja. Aku akan selalu berdoa untukmu, Man."

Aku duduk di sebelah Herman, sahabatku yang pergi meninggalkan kami semua di sini. Herman yang orangnya ramah, baik, perhatian, pemalu, dan kaku harus pergi meninggalkan kami karena ikut tertular wabah penyakit, nyawanya tidak tertolong karena kondisinya yang sudah kelelahan dan tidak sehat seperti biasanya.

Empat orang berpakaian alat pelindung diri lengkap datang dan memasuki ruang jenazah. Mereka adalah petugas jenazah, orang-orang yang akan mengurus pemakaman Herman. Aku pun bergerak minggir, mempersilahkan mereka melakukan tugasnya. Tubuh Herman dibawa untuk dibersihkan, didoakan dan sebagainya hanya oleh mereka berempat. Aku dan teman-teman hanya bisa melihat dan mengantarkan kepergian Herman.

Aku dan Herman adalah salah satu petugas medis di rumah sakit ini. Kami berdua sudah bertugas di rumah sakit ini sejak sebelum wabah muncul. Kami bekerja sebagai perawat, merawat pasien-pasien yang membutuhkan pertolongan dan bantuan serta menjadi asisten dokter saat dokter akan melakukan operasi, pemeriksaan medis, dan sebagainya. Itulah pekerjaan kami berdua.

Mobil jenazah sudah siap diposisinya, aku berdiri di belakang mobil itu. Jasad Herman sudah dibungkus sedemikian rupa, mulai dari tubuhnya dibersihkan, dibungkus plastik, dimasukkan ke dalam peti dan kemudian dibungkus plastik lagi. Proses penanganan jenazah yang sangat hati-hati untuk mencegah kontaminasi oleh jenazah tersebut.

Baca juga: Cerpen: Manusia

Peti yang isinya terbaring tubuh Herman yang sudah kaku seperti sifatnya dulu sudah terlihat, dibawa oleh petugas. Mereka mengangkat peti itu, berjalan ke arah mobil jenazah dan kemudian memasukkan peti ke dalam mobil. Inilah saat terakhir untuk berpisah dengan Herman.

Mobil mulai menyala, suara mesin berderu, mobil siap berangkat. Orang-orang berdiri di pinggir jalan, termasuk aku dan teman-teman. Kami memberikan penghormatan terakhir kepada Herman atas pelayanannya yang tanpa pamrih menolong mereka yang sakit terutama di saat wabah seperti sekarang ini.

Inilah perjuangan kami, petugas medis yang bertarung melawan sebuah sosok tak kasat mata yang mematikan. Berjuang menyembuhkan mereka yang sakit terkena wabah yang belum ada obatnya.

Semenjak wabah menyerang, dari waktu ke waktu pasien terus berdatangan. Pasien yang sebelumnya sudah dirawat, banyak yang belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan untuk sembuh. Setiap hari juga ada pasien yang meninggal, jumlahnya hingga puluhan. Aku sendiri hingga saat ini telah merawat lebih dari 100 pasien dan 20 di antara meninggal. Pikiranku saat ini kacau sekali, memikirkan pasien-pasien yang pernah kurawat dan tak tertolong membuatku sulit tidur, merasa bersalah dan sedih karena tidak bisa menyelamatkan mereka. Namun, melihat beberapa di antara mereka yang akhirnya bisa sembuh membuat hatiku senang, bahagia, mengurangi sedikit beban di pikiran dan hatiku.

Hingga sekarang ini masih banyak pasien sakit yang harus dirawat sementara setiap harinya pasien berdatangan terus. Yang meninggal juga terus ada dan yang sembuh hanya beberapa. Aku berpesan untuk kalian yang membaca tulisanku ini, jaga kesehatan kalian, kurangi bepergian dan kumpul-kumpul yang tidak perlu, tolong bantu kami dengan mengurangi jumlah penderita yang sakit. Orang-orang banyak berkata kalau petugas medis adalah pasukan dan garda terdepan melawan wabah ini, tapi sebenarnya bukan kami melainkan kalian. Kalianlah mata airnya, jangan sampai kalian tercampur dan ikut keruh oleh air yang sudah kotor, menjadi sakit dan tertular wabah. Karena kami sebagai batu yang menepis kotoran di air, menjadi orang yang membasmi sakit kalian, tidak akan bisa menepis semua kotoran dan sakit kalian kalau kalian semua sakit. Itulah harapan kami ke kalian yang membaca ini.

Baca juga: Cerpen: Muda

0

Posting Komentar